Ekonomi Malioboro

MAGNET Malioboro sebagai destinasi wisata semakin menguat seiring proses revitalisasi kawasan ini. Meskipun sangat terlambat, proses penataan pedestrian yang berlangsung sekarang ini membawa wajah Malioboro lebih aksesibel dan humanis.

Kegiatan ekonomi di Malioboro tidak pernah berhenti sepanjang hari. Sekarang ini, terdapat sekitar 22 paguyuban ekonomi rakyat dengan total anggota lebih dari 5.000 orang yang sepanjang hari bergantian mendinamisir kegiatan perdagangan dan jasa di kawasan ini. Tidak mengherankan, omset kegiatan ekonomi rakyat di Malioboro, termasuk Pasar Beringharjo, diperkirakan lebih dari Rp 50 miliar rupiah per hari. Angka ini selalu meningkat tatkala hari libur dan hari raya keagamaan seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru.

Wisatawan Nusantara maupun asing yang berlibur di Yogyakarta selalu singgah di Malioboro. Sadar memasuki kawasan ini akan bertemu dengan kemacetan, namun tetap saja menyusuri Malioboro. Pencarian suasana khas dan sentimen nostalgia menjadi salah satu faktor kegiatan ekonomi di kawasan ini selalu menggeliat.

Mampukah Malioboro berkontribusi lebih besar lagi dalam mengatasi permasalahan pembangunan daerah, khususnya problema kemiskinan dan ketimpangan yang secara statistik DIY jauh lebih buruk di atas rata-rata nasional? Apakah rantai nilai ekonomi dari kegiatan perdagangan dan jasa di Malioboro mampu berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga miskin?

Secara umum teridentifikasi barang dagangan non makanan yang ditransaksikan sepanjang Malioboro bercorak hasil industri kerajinan berbasis rumah tangga. Sumber pemasok barang kerajinan tidak hanya dari daerah-daerah di DIY seperti Bantul dan Sleman, namun justru lebih banyak dari produsen luar DIY, khususnya dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Timur. Posisi ini mengindikasikan nilai tambah produk dagangan non makanan di Malioboro tidak mengalir penuh pada pelaku ekonomi rakyat yang ada di DIY.

Pola persaingan harga yang kompetitif pada rantai pasok mayoritas barang dagangan non makanan di Malioboro menjadikan posisi produk lokal DIY kalah dalam persaingan harga. Hal ini semakin berat bagi produsen kerajinan DIY untuk mendapatkan margin wajar karena masuknya produk impor. Dengan demikian, margin tertinggi dari proses bisnis di Malioboro lebih banyak dinikmati para pedagang daripada para produsen lokal.

Sementara itu, tidaklah gampang bagi warga masyarakat DIY dari kelompok sosial menengah dan bawah untuk ikut berkompetisi sebagai pelaku bisnis di kawasan ini. Penguasaan lapak dan kapling perdagangan sudah terpola, seiring kebijakan pembatasan jumlah pedagang yang mendapat izin dari pemda untuk beraktivitas di kawasan ini.

Pola terkonsentrasi pada penguasaan lapak, menjadikan biaya sewa ruang terbuka untuk lapak ukuran sekitar 1,2 meter pesegi, para penyewa harus membayar antara Rp 40 juta- Rp 50 juta per tahun. Biaya sewa tersebut tidaklah murah bagi masyarakat DIY yang berkategori berpendapatan menengah dan bawah.

Sekalipun revitalisasi Malioboro yang dimaksudkan memberi kenyamanan pejalan kaki, yang terjadi berbeda. Yang muncul kini  justru penambahan  jumlah lapak, sehingga membuat sempit kawasan pedestrian. Ini yang harus disikapi dengan tegas, sebelum kian semrawut dan menjadi problema sosial tersendiri. Sekalipun sudah ada pembagian tugas, alangkah baiknya koordinasi dan kerja sama Pemda DIY dan Pemkot Yogya mengurus lapak PKL, dilakukan dengan tegas.

Pembiaran pola penguasaan lapak pada kawasan premium untuk perdagangan pendukung sektor pariwisata di Malioboro menjadikan tumpulnya kontribusi Malioboro sebagai episentrum sektor pariwisata dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di DIY. Butuh terobosan kebijakan afirmatif  agar eskalasi bisnis perdagangan di kawasan Malioboro mampu menjadi stimulus dalam mengurai permasalahan pembangunan di DIY. Salah satu bentuknya, penguatan jaringan pasok antara sentra industri lokal DIY dengan sektor perdagangan di kawasan Malioboro.

Selain penguatan rantai pasok, perlu dikaji kemungkinan kebijakan pola bergulir dalam penggunaan lapak yang pada hakikatnya adalah barang publik dalam kuasa pemda. Kebijakan ini tidaklah mudah, namun perlu dipertimbangkan karena afirmasi dalam bentuk membuka akses penggunaan barang publik bagi kelompok pendapatan menengah dan bawah menjadi salah satu ikhtiar untuk mengurai permasalahan pembangunan dengan cara optimasi potensi kawasan yang menjadi episentrum wisata, termasuk Malioboro.

(Ahmad Ma’ruf. Penulis adalah Dosen Ilmu Ekonomi UMY, pengurus ICMI DIY dan peneliti Inspect. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 4 Mei 2017)