Open post

Bencana, Distorsi Perekonomian

BENCANA alam dalam sepekan ini bertubi-tubi terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia. Gunung Agung di Bali mulai intens erupsi. Banjir dan tanah longsor melanda beberapa daerah di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan provinsi lain. Kerugian ekonomi dan non-ekonomi mulai muncul dan dirasakan oleh warga.

Prakiraan BMKG bahwa cuaca buruk berupa hujan deras disertai angin dan petir masih berpotensi terjadi pada beberapa hari ke depan. Demikian juga BNPB telah melabel kondisi Gunung Agung di Bali berstatus awas. Kondisi tersebut memaksa warga terdampak untuk mengungsi di zona aman. Ribuan penduduk telah mengungsi. Kegiatan ekonomi pun mulai terganggu, bahkan beberapa bandara mulai lumpuh. Sementara itu akibat banjir, di banyak daerah juga melumpuhkan transportasi darat dan laut.

Ribuan hektare tanaman padi di sentra-sentra produksi terendam dan menjadi puso. Tidak sedikit warga di beberapa daerah yang terdampak banjir mulai meninggalkan rumah tinggalnya.

Dalam konteks ekonomi, bencana alam telah mendistorsi perekonomian secara mikro dan makro dalam jangka pendek. Mobilitas barang dan orang yang melambat bahkan stagnan akibat bencana yang merusak infrastruktur transportasi telah menurunkan kapasitas bisnis dari sisi distribusi, yang berdampak pula pada konsumsi dan produksi. Sektor jasa yang selama ini jadi unggulan Provinsi Bali secara nyata mulai terdampak akibat letusan Gunung Agung. Goncangan sektor pariwisata di Bali tentu berimbas pada daerah lain yang memiliki destinasi wisata sejalur dengan Bali, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sepekan ini, banjir dan tanah longsor telah berdampak negatif berupa penurunan daya dukung infrastruktur, seperti jalan, rel kereta api, bandara, dan beberapa pusat perdagangan terhadap perekonomian. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus karena kegagalan manajemen bencana secara langsung mendistorsi kesejahteraan masyarakat.

Bagaimanapun, ketersediaan infrastruktur yang berdaya guna sangat diperlukan agar perekonomian mampu tumbuh. Riset Bank Indonesia (2014) menunjukkan infrastruktur, listrik, jalan, dan bongkar muat pelabuhan berdampak positif dan signifikan dalam mendorong pendapatan perkapita. Dengan demikian, penyediaan infrastruktur dasar yang cukup baik secara kuantitas maupun kualitas, yaitu berupa listrik dan sarana transportasi. Baik jalan maupun laut merupakan prakondisi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan.

Pemerintah baru berupaya keras meningkatkan daya dukung infrastruktur yang selama ini dari sisi ketersediaan dan kondisinya masih minim. Kondisi tersebut terjadi hampir di semua aspek infrastruktur dasar, mulai dari masih rendahnya kualitas jalan, pelabuhan, bandara, kereta, hingga kualitas pasokan listrik. Hal tersebut jika dapat dibenahi akan berpengaruh signifikan pada kesinambungan pertumbuhan ekonomi, termasuk pada pertumbuhan ekonomi regional di negeri ini. Pada sisi lain, bencana alam menjadi faktor distruktif atas daya dukung infrastruktur ini.

Bercermin dari banyaknya bencana yang melanda, khususnya banjir perlu introspeksi kolektif atas pola tindak masyarakat dan proses pembangunan yang abai pada kelestarian lingkungan. Simak saja praktik pembangunan perkotaan yang tidak proporsional menjadikan beban fisik lahan tidak mampu menyerap dan menyalurkan air. Demikian juga ketidakseriusan pengelolaan lahan hijau dan pegunungan berakibat nihilnya tutupan hijau. Konsep green ekonomi yang seharusnya terimplementasi dalam praktik pembangunan telah tumpul karena kepentingan pragmatis pengelola negara dan daerah.

(Ahmad Ma’ruf, Dosen Prodi Ilmu Ekonomi UMY, pengurus ICMI DIY dan peneliti Inspect. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 29 November 2017)

Open post

Ekonomi Bela Beli

EKONOMI liberal dengan segala instrumennya telah melibas pranata ekonomi komunal di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Kompetisi  super ketat dalam ekonomi pasar bebas menjadikan perilaku bisnis melebihi keburukan kaum bar-bar. Wal hasil, korbannya masyarakat umum semakin termarginalkan.

Dalam konteks Indonesia, sangat terasa pola bisnis yang nihil etika. Bahkan, dalam pekan ini kembali muncul praktik bisnis kotor. Setelah heboh vaksin palsu, kini kasus  pizza berbahan baku barang basi mengemuka. Ternyata korporasi bercitra tinggi tidak menjamin produk berkualitas. Kasus ini hanya fenomena gunung es akibat dari keserakahan kaum pemodal.

Pencaplokan korporasi lokal oleh asing melalui berbagai skema akuisisi terus berlanjut. Bahkan, BUMN yang harusnya menjadi sumber fiskal negara sekaligus pemegang mandat startegis perekonomian negara telah dikontrol asing melalui skema privatisasi dengan label keren go public. Akankah praktik keserakahan ekonomi dalam skala makro maupun mikro dibiarkan melembaga yang seakan sebuah kewajaran?

Pada sisi lain, pragmatisme konsumen yang abai pada komitmen dan keberpihakan menjadikan stimulus sistem ekonomi pasar bebas tumbuh suburnya. Teori kepuasan konsumen ala barat menjadikan konsumen kehilangan nalar ekonomi yang pada hakekatnya harus berpihak. Namun, pilihan konsumen jangka pendek yang lebih mementingkan kepuasan sesat yang kamuflatif mmenjadikan ekonomi lokal semakin meredup.

Di tengah arus global ini, hanya ideologi yang akan mampu meredam dampak negatif ekonomi liberal. Munculnya semangat keberpihakan seperti yang dilakukan oleh kepala daerah dan masyarakat di Kabupaten Kulonprogo dengan tagline Bela-Beli menjadi oase dan best practices pengungkit nasionalisme ekonomi. Bela-beli tidak saja praktik bisnis produksi dan konsumsi yang mengutamakan lokalitas, namun juga meluruskan orientasi pemikiran dan logika ekonomi yang menjauh dari hakekatnya.

Ekonomi bela-beli sebenarnya banyak yang mewacanakan namun gagal dalam transformasi dan aktualisasi. Slogan Aku Cinta Produk Indonesia tidak membumi karena elit tidak mampu menjadi tauladan. Slogan yang tumbuh bukan dari ideologi hanya menjadi sampah dan jargon semu. Gagal paham dan lembeknya ideologi keberpihakan menjadikan berbagai slogan dan program pembangunan tumpul dalam realita.

Dalam skala lokal, ekonomi bela-beli mampu menimbulkan kesadaran kritis pada warga dan elit sebagai konsumen. Tidak semua kepuasan didapat dari merek, label, dan attribut produk dan jasa yang oleh pemodal sengaja dikonstuksi menggiurkan. Bela-beli mampu mengembalikan kepuasan juga bisa diperoleh dari praktik bisnis yang berpihak. Spirit keberpihakan itulah yang menjadikan utilitas konsumen meningkat.

Tentu saja scale-up spirit ekonomi bela-beli tidaklah mudah. Ideologi ekonomi butuh regulasi untuk melembagakan sebagai gerakan. Kebijakan publik mutlak diperlukan untuk mengaktualisasi keberpihakan ekonomi. Intensitas dan konsistensi haruslah terjaga dalam menjalankan praktik bisnis, baik dalam konteks produksi maupun konsumsi.

Tantangan terberat dalam masifikasi ekonomi bela-beli justru dari internal pemegang kuasa, baik level eksekutif maupun legislatif. Proses politik kepemimpinan nasional maupun daerah yang bergulir lima tahunan bisa menjadi penghambat apabila egoisme elit lebih dikedepankan. Tidak jarang program bagus dari kepemimpinan periode sebelumnya ditinggalkan oleh pemegang kuasa baru. Terlebih apabila pemegang kuasa gagal paham atas hakekat pembangunan.

Pada sisi lain, kaum pemodal asing maupun nasional tidak akan berhenti untuk terus berupaya mendominasi penguasan atas aset, akses, dan pasar lokal. Pintu masuknya mempengaruhi para pengambil kebijakan. Modus lama ini masih efektif dimainkan atas nama demokrasi dan kebebasan berusaha. Bahkan ditambahkan dengan dalih membantu pertumbuhan ekonomi melalui perluasan investasi.

Berbagai langkah masifikasi di atas tidak akan akselerasi jika langkah fundamental tidak dilakukan. Langkah strategis yang harus dilakukan agar jebakan pasar bebas tidak terus berlanjut adalah merombak materi pembelajaran khususnya pada mata pelajaran ekonomi mulai level pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Pembelajaran ekonomi tidak harus anti barat, namun pengajaran ekonomi yang memahamkan substansi dan Falasifah berekonomi yang benar, yang nasionalis, dan yang beretika. Titik kritisnya adalah pada para pengajarnya, ada sebagian guru maupun dosen yang masih unlearning terkadap falsafah ekonomi. Bahkan tidak sedikit dosen yang dengan bangganya berideologi pasar bebas bahkan dalam pembelajarannya lebih mencontohan korporasi asing dari pada korporasi lokal yang sukses.

Ekonomi bela-beli menjadi kebutuhan untuk diviralkan sebagai spora nasionalisme ekonomi. Ekonomi pasar bebas yang nihil etika dan keberpihakan hanya efektif dihambat dengan penguatan ideologi yang berpihak. Ragam aktualisasi ekonomi bela-beli yang tumbuh dan bergerak diberbagai daerah harus terus diapresiasi dan disebarluaskan sebagai model membangun kedaulatan ekonomi.

(Ahmad Ma’ruf. Penulis adalah pengajar prodi Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan peneliti Inspect. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 10 September 2016)

Open post

Stagnasi Struktur Ekonomi

PEREKONOMIAN makro pada mayoritas wilayah, termasuk perekonomian DIY, memiliki profil permasalahan pembangunan yang segaris. Fenomena kemiskinan, ketimpangan, dan ancaman jebakan stagnasi ekonomi menjadi problem serius yang harus dicari jalan keluarnya.

Kesenjangan ekonomi dan kemiskinan tidak lepas dari rantai pengangguran yang rasionya masih tinggi. Tahun 2015 tercatat pengangguran sebanyak 6,18%. Angka tersebut menurun tipis pada tahun 2016 menjadi 5,61%. Apabila konsisten terjadi tren penurunan angka pengangguran sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, maka masih ada harapan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.

Kesempatan kerja terus diperluas sejalan dengan penambahan unit usaha. Pada sepuluh tahun terakhir, tercatat ada kenaikan jumlah unit usaha di Indonesia dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,7% per tahun. BPS mencatat pada tahun 2006, ada sebanyak 22,73 juta unit usaha. Jumlah tersebut meningkat sebesar 17,51% menjadi 26,71 juta pada tahun 2016.

Peningkatan jumlah unit usaha tidak diikuti perubahan struktur pelaku usaha, dimana skala ekonomi mayoritas tetap usaha mikro dan kecil. Tercatat tahun 2016 ada sebanyak 26,26 juta unit usaha mikro dan kecil skala atau 98,33%, sedangkan sisanya yakni 0,45 juta unit atau hanya 1,67% yang skala usahanya menengah dan besar. Fakta ini mengonfirmasi bahwa ekonomi rakyat yang dicirikan skala mayoritas mikro dan kecil menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja dan sebagai sumber penghidupan mayoritas penduduk di Indonesia.

Struktur pelaku ekonomi berbentuk piramida yang sangat runcing pada ujung atas secara relatif mengindikasikan daya kompetisi yang rendah. Dalam hal pengupahan, mayoritas usaha mikro dan kecil hanya mampu memberikan tingkat upah minimum. Sehingga jumlah besar pada level bawah piramida pelaku ekonomi harus mulai ditransformasi secara gradual menjadi bentuk ketupat, dimana ada kenaikan skala ekonomi sehingga jumlah pelaku ekonomi skala menengah akan lebih banyak yang berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja sekaligus ada perbaikan tingkat upah pekerjanya.

Selain stagnasi struktur pelaku ekonomi dimana mayoritas skala mikro dan kecil, dari sisi distribusi terjadi konsentrasi geografis yang memusat pada wilayah Jawa yakni 60,74% dan sebagian di Sumatera yang berimplikasi pada pelanggengan kesenjangan sosial ekonomi secara spasial. Masifnya pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia Timur diharapkan mendorong kegiatan ekonomi lokal sehingga tidak terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Dalam konteks ini, agenda peningkatan skala ekonomi untuk memperbanyak jumlah pelaku usaha skala menengah harus paralel dengan penumbuhan pelaku ekonomi di kawasan Indonesia Timur.

Untuk memastikan terjadinya akselerasi transformasi struktur pelaku ekonomi, ada beberapa agenda strategis pembangunan ekonomi yang perlu dilakukan. Di antaranya adalah memperkuat pranata ekonomi yang memastikan terjadinya efisiensi ekonomi pada skala makro maupun mikro. Kunci sukses pada agenda ini terletak pada penegakan hukum yang ketat dan debirokratisasi layanan publik yang terjadi pada semua level pemerintahan. Dengan demikian, semua kaidah good governance dan clean government terujud dalam pemerintahan dan menjadi jiwa birokrasi dalam pelayanan publik.

Memperluas jaringan infrastruktur yang mendorong integrasi ekonomi nasional. Pada setiap wilayah memiliki kawasan ekonomi. Baik yang berupa kawasan industri, kawasan ekonomi eksklusif, kawasan peruntukan industri maupun sentra-sentra industri yang semuanya menjadi lokus produksi skala besar maupun ekonomi rakyat memerlukan akses mobilitas yang efisien dan memadai untuk kelancaran penyediaan baku maupun distribusi hasil produksi.

Menjaga stabilitas moneter dan sektor perbankan sebagai daya dukung pembangunan sektor riil. Sistem perbankan yang inklusif menjadi target kebijakan sektor moneter yang mengakselerasi kebutuhan permodalan dan lalulintas keuangan bagi semua pelaku ekonomi, termasuk ekonomi rakyat. Selain itu, kebijakan penumbuhan keuangan sosial menjadi bagian penting dalam kebijakan moneter dan perbankan.

Memperluas pemanfaatan teknologi digital untuk kegiatan ekonomi dan bisnis khususnya bagi ekonomi rakyat. Masifnya teknologi digital menjadi peluang dalam meningkatnya rasio wirausaha melalui penumbuhan wirausaha baru. Literasi teknologi menjadi kebutuhan untuk memperkuat daya saing pelaku ekonomi, khususnya ekonomi rakyat.

(Ahmad Ma’ruf. Prodi Ilmu Ekonomi UMY, pengurus ICMI DIY dan peneliti Inspect. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 5 Juli 2017)

Open post

Ekonomi Malioboro

MAGNET Malioboro sebagai destinasi wisata semakin menguat seiring proses revitalisasi kawasan ini. Meskipun sangat terlambat, proses penataan pedestrian yang berlangsung sekarang ini membawa wajah Malioboro lebih aksesibel dan humanis.

Kegiatan ekonomi di Malioboro tidak pernah berhenti sepanjang hari. Sekarang ini, terdapat sekitar 22 paguyuban ekonomi rakyat dengan total anggota lebih dari 5.000 orang yang sepanjang hari bergantian mendinamisir kegiatan perdagangan dan jasa di kawasan ini. Tidak mengherankan, omset kegiatan ekonomi rakyat di Malioboro, termasuk Pasar Beringharjo, diperkirakan lebih dari Rp 50 miliar rupiah per hari. Angka ini selalu meningkat tatkala hari libur dan hari raya keagamaan seperti Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru.

Wisatawan Nusantara maupun asing yang berlibur di Yogyakarta selalu singgah di Malioboro. Sadar memasuki kawasan ini akan bertemu dengan kemacetan, namun tetap saja menyusuri Malioboro. Pencarian suasana khas dan sentimen nostalgia menjadi salah satu faktor kegiatan ekonomi di kawasan ini selalu menggeliat.

Mampukah Malioboro berkontribusi lebih besar lagi dalam mengatasi permasalahan pembangunan daerah, khususnya problema kemiskinan dan ketimpangan yang secara statistik DIY jauh lebih buruk di atas rata-rata nasional? Apakah rantai nilai ekonomi dari kegiatan perdagangan dan jasa di Malioboro mampu berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga miskin?

Secara umum teridentifikasi barang dagangan non makanan yang ditransaksikan sepanjang Malioboro bercorak hasil industri kerajinan berbasis rumah tangga. Sumber pemasok barang kerajinan tidak hanya dari daerah-daerah di DIY seperti Bantul dan Sleman, namun justru lebih banyak dari produsen luar DIY, khususnya dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Timur. Posisi ini mengindikasikan nilai tambah produk dagangan non makanan di Malioboro tidak mengalir penuh pada pelaku ekonomi rakyat yang ada di DIY.

Pola persaingan harga yang kompetitif pada rantai pasok mayoritas barang dagangan non makanan di Malioboro menjadikan posisi produk lokal DIY kalah dalam persaingan harga. Hal ini semakin berat bagi produsen kerajinan DIY untuk mendapatkan margin wajar karena masuknya produk impor. Dengan demikian, margin tertinggi dari proses bisnis di Malioboro lebih banyak dinikmati para pedagang daripada para produsen lokal.

Sementara itu, tidaklah gampang bagi warga masyarakat DIY dari kelompok sosial menengah dan bawah untuk ikut berkompetisi sebagai pelaku bisnis di kawasan ini. Penguasaan lapak dan kapling perdagangan sudah terpola, seiring kebijakan pembatasan jumlah pedagang yang mendapat izin dari pemda untuk beraktivitas di kawasan ini.

Pola terkonsentrasi pada penguasaan lapak, menjadikan biaya sewa ruang terbuka untuk lapak ukuran sekitar 1,2 meter pesegi, para penyewa harus membayar antara Rp 40 juta- Rp 50 juta per tahun. Biaya sewa tersebut tidaklah murah bagi masyarakat DIY yang berkategori berpendapatan menengah dan bawah.

Sekalipun revitalisasi Malioboro yang dimaksudkan memberi kenyamanan pejalan kaki, yang terjadi berbeda. Yang muncul kini  justru penambahan  jumlah lapak, sehingga membuat sempit kawasan pedestrian. Ini yang harus disikapi dengan tegas, sebelum kian semrawut dan menjadi problema sosial tersendiri. Sekalipun sudah ada pembagian tugas, alangkah baiknya koordinasi dan kerja sama Pemda DIY dan Pemkot Yogya mengurus lapak PKL, dilakukan dengan tegas.

Pembiaran pola penguasaan lapak pada kawasan premium untuk perdagangan pendukung sektor pariwisata di Malioboro menjadikan tumpulnya kontribusi Malioboro sebagai episentrum sektor pariwisata dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di DIY. Butuh terobosan kebijakan afirmatif  agar eskalasi bisnis perdagangan di kawasan Malioboro mampu menjadi stimulus dalam mengurai permasalahan pembangunan di DIY. Salah satu bentuknya, penguatan jaringan pasok antara sentra industri lokal DIY dengan sektor perdagangan di kawasan Malioboro.

Selain penguatan rantai pasok, perlu dikaji kemungkinan kebijakan pola bergulir dalam penggunaan lapak yang pada hakikatnya adalah barang publik dalam kuasa pemda. Kebijakan ini tidaklah mudah, namun perlu dipertimbangkan karena afirmasi dalam bentuk membuka akses penggunaan barang publik bagi kelompok pendapatan menengah dan bawah menjadi salah satu ikhtiar untuk mengurai permasalahan pembangunan dengan cara optimasi potensi kawasan yang menjadi episentrum wisata, termasuk Malioboro.

(Ahmad Ma’ruf. Penulis adalah Dosen Ilmu Ekonomi UMY, pengurus ICMI DIY dan peneliti Inspect. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 4 Mei 2017)