
HASUTAN rush money atau pengambilan dana tunai secara besar-besaran pada perbankan umum yang menyebar lewat media sosial semakin masif dan membuat kegelisahan sebagian warga. Viral sosial media tersebut sudah menjadi teror tersendiri. Banyak masyarakat bertanya apakah ajakan ini perlu diikuti? Kenapa ada ajakan seperti ini, dan apa dampaknya?
Trauma krisis ekonomi tahun 1998 masih membekas pada publik. Gaduh politik saat itu dimatangkan dengan gaduh ekonomi dan berujung pada pengalihan kekuasaan. Salah satunya ditandai dengan antrean orang mengambil uang tunai di perbankan. Bahkan, terjadi aksi borong berbagai barang kebutuhan pokok di pusatpusat perbelanjaan. Dan, kondisi tersebut berhasil sebagai komplementer krisis kepercayaan publik pada penguasa.
Sepekan ini, ajakan pengambilan uang tunai beredar sejak aksi demonstrasi besar-besaran menuntut proses hukum pada Ahok. Dalih ajakan pengambilan tabungan dan deposito tersebut dengan alasan karena sistem perbankan sekarang kapitalis ribawai dengan pola kepemilikan yang oligopolis.
Ada pertanyaan seandainya ajakan tersebut murni dalam konteks dakwah untuk meninggalkan sistem ribawai menuju sistem ekonomi berkeadilan dan syariah, kenapa dalam seruan melakukan rush money tersebut tidak diajak untuk pengalihan pada sistem perbankan syariah? Fakta di negeri ini sekarang telah terdapat berbagai bank syariah yang telah membuka kantor layanan pada hampir semua daerah. Perbankan syariah yang ada semuanya telah mendapat perizinan dan selalu mendapat pengawasan dari lembaga otoritas perbankan yang operasionalnya berpegang pada prinsip perbankan syariah nonribawai.
Kontradiksi di atas mengindikasikan kuat bahwa ajakan melakukan penarikan uang tunai besar-besaran bukanlah sebagai dakwah untuk meluruskan praktik berekonomi yang syariah namun lebih sebagai hasutan untuk membuat kondisi distabilitas perekonomian pada sisi moneter. Sangat mungkin, ajakan ini terinspirasi dari suksesnya pengakhiran kekuasaan Orde Baru, di mana saat itu terjadi kegaduhan politik yang paralel dengan kegaduhan ekonomi.
Kekhawatiran publik akan terjadinya distabilitas ekonomi yang dimulai dari rush money dan berlanjut pada distabilitas politik keamanan seharusnya merupakan hal yang tidak perlu muncul. Namun demikian, hal tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja karena secara politik ada arah pengkondisian distabilitas.
Dalam konteks ekonomi, tidak ada alasan yang kuat akan terjadinya rush money. Hal ini karena kondisi kesehatan perbankan di Indonesia mayoritas dalam status Bank Sehat. Hal ini berbeda dengan perbankan pada tahun 1990-an yang kondisinya rapuh. Selain itu, sisi makro ekonomi sekarang ini tetap tumbuh positif, bahkan tahun ini diproyeksi ekonomi tumbuh lebih dari 5 persen dengan tingkat inflasi kurang dari 4,5 persen. Selain itu, tidak arus barang, khususnya bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya tidak ada hambatan teknis, baik pada level produksi maupun distribusi.
Agar publik tidak ragu atas kondisi moneter dan makro ekonomi yang menyebabkan kerentanan terprovokasi atas hasutan rush money tersebut, maka perlu dilakukan beberapa langkah strategis yang harus diambil oleh otoritas moneter maupun pemerintah. Publikasi dan edukasi lewat media massa termasuk viral media sosial tentang kondisi kesehatan perbankan di Indonesia, baik perbankan yang menggunakan sistem konvensional maupun perbankan syariah. Selain itu, publikasi kondisi makro ekonomi yang stabil dan menjelaskan kesiapsiagaan pemerintah akan ancaman krisis.
Ajakan rush money bukanlah tindakan yang terpuji di saat pemerintah sedang kerja keras memperbaiki kondisi makro ekonomi pada aspek fiskal, moneter, dan pengkondisian sektor riil agar mampu tetap tumbuh positif di saat perekonomian global yang lesu. Publik tidak perlu terprovokasi karena tidak ada alasan kuat untuk melakukan rush money.
Kalaupun akan memindahkan uang karena alasan ideologis dari perbankan konvensional maka opsi pengalihan pada perbankan syariah sangat terbuka. Stabilitas ekonomi menjadi hal yang penting untuk dirawat semua pihak agar masyarakat tidak dikorbankan oleh para petualang politik kekuasaan.
(Ahmad Ma’ruf. Dosen Ilmu Ekonomi UMY, Pengurus ICMI DIY dan Peneliti Inspect. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 24 November 2016)

KELANGKAAN ‘gas melon’ (sebutan populer gas/elpiji tabung 3 kg) kembali terjadi di berbagai daerah, baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Kelangkaan ini membuat keresahan dan penderitaan baru bagi masyarakat, khususnya warga miskin dan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) sebagai konsumen utama komoditas energi bersubsidi ini. Masalahnya, rentetan kelangkaan gas melon berimbas pada meningkatnya beban biaya energi rumah tangga miskin. Selain sulit mendapatkan gas melon di pasaran, harga jual eceran juga melambung. Pada kondisi normal, harga gas melon hanya sekitar Rp 15.000/tabung, kini di eceran dijual antara Rp 25.000 – Rp 30.000/tabung.
JOKOWI dilantik menjadi presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2014. Tepat pada tanggal 20 Oktober 2016 ini, ‘Jokowinomics’ telah berjalan 2 (dua) tahun. Terkait dengan bidang ekonomi dalam pemerintahan Jokowi muncul istilah ‘Jokowinomics’. Suatu istilah yang mengacu pada istilah ‘Reagenomics’ di masa presiden Amerika Serikat Ronald Reagen pada tahun 1980-an. Secara singkat ‘Jokowinomics’ dapat diartikan pengelolaan dan kebijakan ekonomi di bawah presiden Jokowi.