Gaduh Gas Melon

gas-ijo-1KELANGKAAN ‘gas melon’ (sebutan populer gas/elpiji tabung 3 kg) kembali terjadi di berbagai daerah, baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Kelangkaan ini membuat keresahan dan penderitaan baru bagi masyarakat, khususnya warga miskin dan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) sebagai konsumen utama komoditas energi bersubsidi ini. Masalahnya, rentetan kelangkaan gas melon berimbas pada meningkatnya beban biaya energi rumah tangga miskin. Selain sulit mendapatkan gas melon di pasaran, harga jual eceran juga melambung. Pada kondisi normal, harga gas melon hanya sekitar Rp 15.000/tabung, kini di eceran dijual antara Rp 25.000 – Rp 30.000/tabung.

Keresahan masyarakat semakin menjadi tatkala di pangkalan dan kios pengecer yang ditawarkan pada pelanggan gas melon adalah gas ukuran 5 kg dengan harga komersial. Ada kesan, terjadi pengkondisian agar masyarakat mulai beralih dari gas melon bersubsidi 3 kg ke gas biru 5 kg dengan harga komersial. Padahal, gas/elpiji sudah menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat, termasuk keluarga miskin. Mereka sudah migrasi dari minyak tanah ke gas/elpiji sehingga adanya opsi gas 5 kg bukan sebagai substitusi tapi penambah beban.

Adanya kelangkaan dalam sebulan terakhir telah mendapat respons dari para pemangku kepentingan. Pemerintah telah meminta PT Pertamina sebagai institusi utama dalam distribusi gas melon untuk menambah pasokan. Proses tersebut sudah dilakukan, namun dalam minggu ini kondisi belum juga kembali normal. Kejadian kelangkaan sudah sering terjadi dan seakan sebagai siklus tahunan.

Pada berbagai daerah, khususnya luar Jawa, selain kelangkaan gas melon juga banyak kasus kualitas produk yang buruk. Kasus yang paling banyak adalah tekanan gas yang tidak kuat sehingga terkesan isi tidak penuh dan terbukti rata-rata penggunaan menjadi singkat. Selain itu, juga muncul kasus gas melon isi air dan yang paling banyak adalah kasus pengoplosan gas melon pada tabung gas 12 kg.

Banyaknya problem terkait gas melon tidak lepas dari kebijakan sistem distribusi terbuka pada komoditas subsidi ini. Sejak awal kebijakan migrasi dari minyak tanah ke gas/elpiji 3 kg ini dilakukan, banyak kalangan sudah menyarankan agar ada perubahan sistem distribusinya dari sistem terbuka menjadi sistem tertutup. Namun terlalu lama proses peralihan sistem. Akibatnya kejadian kelangkaan dan kejahatan pengoplosan gas sulit dikendalikan. Dari berbagai kasus dan masukan, pemerintah dan DPR pada akhir Juli 2016 sepakat akan ada perubahan sistem distribusi gas melon ke arah sistem tertutup. Berbagai skema uji coba akan dilakukan, termasuk kebijakan pelimpahan kewenangan pada Pemerintah Daerah untuk menetapkan harga eceran tertinggi (HET) dan pengawasan distribusi gas melon tersebut. Namun demikian, karena proses implementasi kebijakan yang lamban, kelangkaan kembali terulang. Demikian juga kejahatan pengoplosan gas bersubsidi pada tabung komersial terus terjadi.

Proses transisi dari sistem distribusi tertutup ke sistem terbuka perlu mencermati berbagai faktor empiris yang menjadi kunci sukses kebijakan tersebut. Pola transisi dapat mengikuti pola pengurangan Premium ditransformasi ke Pertalite. Selama elastisitas harga dari konsumen energi masih inelastis, maka penjualan Pertalite akan terus meningkat, dan menjadi pembiasaan pada komoditas energi bersubsidi rendah. Demikian juga pada gas melon, perlu ada opsi produk yang harganya inelastis.

Faktor harga bukan satusatunya kesuksesan pengubahan sistem distribusi. Khusus untuk gas/elpiji kunci justru pada kejelasan identitas personal penerima subsidi. Instrumen Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan kartu lain yang identik dengan deskripsi keluarga miskin, ataupun kartu yang menjelaskan status skala usaha adalah UKM, maka instrumen tersebut dapat dijadikan alat identitas penerima gas subsidi dalam sistem distribusi tertutup. Faktor lain yang cukup strategis berpengaruh dalam transisi kebijakan distribusi gas melon adalah peran publik dalam pengawasan, pengkondisian, dan edukasi terkait barang subsidi. Penguatan partisipasi publik dalam pengawasan distribusi mutlak diperlukan untuk memastikan ketepatan sasaran, dan deteksi kejahatan penyalahgunaan barang subsidi ini.

(Ahmad Ma’ruf. Dosen Ilmu Ekonomi UMY, pengurus ICMI DIY dan peneliti Inspect. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 24 Oktober 2016)